Saat semua orang
sibuk menikmati lautnya, seorang anak perempuan berusia lima tahun menangis
meraung mencari ibunya. Anak lima tahun itu tak henti menangis. Berusaha
berteriak sekencang-kencangnya memanggil nama Ibunya.
“Ma… Mama…”
Teriaknya dengan air mata.
Dia merasa lelah
menangis dan berjalan tanpa arah. Semua terasa asing tanpa genggaman jemari
Ibunya. Tak sengaja dia melihat seseorang yang lebih tua darinya dengan nikmat
melahap es krim milik orang tersebut.
Anak laki-laki
tujuh tahun yang merasa risih dipelototi oleh seorang anak yang menurutnya
lemah itu langsung menatap sinis dan mengabaikannya. Tapi anak perempuan yang
merasa tenggorokkannya semakin panas itu hanya diam tanpa mengalihkan
pandangannya dari es krim coklat di genggaman anak laki-laki itu.
“Apasih
liat-liat?” Anak laki-laki itu semakin risih.
“Es krim.” Jawab
anak perempuan itu dengan polos.
“Kamu mau ini?”
Tanya anak laki-laki itu sambil menyodorkan es krimnya.
Anak perempuan
itu hanya mengangguk dengan sedikit sesenggukan yang tersisa.
Anak laki-laki
itu melihat saku di celananya. Ah, masih ada selembar lima ribuan.
“Ayo ikut aku!”
Anak laki-laki itu berdiri dan menggandeng anak perempuan yang tingginya tidak
lebih dari pundaknya itu.
“Kemana?” Anak perempuan
itu sedikit takut.
“Kita beli es
krim disana. Nanti kamu pilih sendiri deh mau rasa apa. Oke?” Anak laki-laki
itu rtersenyum.
Anak perempuan
itu mengangguk setuju setelah melirik kedai es krim yang tak jauh dari tempat
mereka. Mereka akhirnya berjalan bergandengan sampai di kedai es krim.
“Tapi uang aku
tinggal lima ribu. Cuma bisa beli satu aja. Ngga papa ya?” Anak laki-laki itu
menampakkan wajah bersalah.
“Tapi yang
stroberi ya?” Kata anak perempuan itu menyebutkan es krim yang sedaritadi
mengiang di kepalanya.
“Oke!”
Anak laki-laki
itu berjinjit meminta es krim stroberi pada pelayan. Pelayan itu sedikit
tertawa saat melihat sepasang anak kecil yang menunggu makanan favoritnya.
“Ini es krimnya,
Dik. Terimakasih sudah membeli di kedai kami.” Kata pelayan itu ramah.
Setelah melepas
selembar uang lima ribuan miliknya, anak laki-laki tadi langsung mengajak anak
perempuan itu menuju pinggir pantai untuk menikmati es krim mereka.
“Enak kan?” Anak
laki-laki itu berkata dengan mulut berlumuran es krim.
“Iya.
Terimakasih ya, Kak.”
“O iya, nama
kamu siapa? Kita daritadi belum kenalan.” Anak laki-laki itu menjulurkan
tangganya ke hadapan anak perempuan itu.
“Aira.” Aira
menyambut tangan malaikat es krimnya itu.
“Aku Noy. Kamu
kok sendirian?” Noy ingat saat bertemu dengan Aira, Aira sendirian saat itu.
“Mamaku hilang.”
Jawab Aira polos.
“Hah?! Hilang?!
Kok bisa hilang?” Noy terkejut.
“Ngga tau. Tadi
aku mau beli es krim juga, tapi pas mau minta ke mama, mama udah hilang.” Aira
teringat Mamanya lagi. Dia diam dan memanyunkan bibirnya.
Melihat teman
kecilnya ingin menangis, Noy langsung menghiburnya.
“Loh, Aira
jangan nangis! Nanti kalo nangis es krimnya meleleh loh. Es krimnya nanti
ikutan nangis!” Jayus Noy.
“Terus mama sama
papanya Kak Noy kemana?” Aira balik bertanya.
“Oiya, mama sama
papa aku kemana ya?” Noy berdiri dan melihat sekitarnya. Nihil. Dia tidak
menemukan sosok ayah dan ibunya.
“Aduh, Ra, mama
sama papa aku juga hilang!” Noy sedikit panik.
“Loh, terus
gimana dong? Nan.. nanti pu.. pulangnya gimana?” Aira benar-benar menangis
sekarang.
“Udah-udah ngga
usah nangis. Sekarang habisin es krimnya dulu baru kita cari mama papa kita,
ya?” Noy menenangkan Aira.
Aira tersenyum
dan kembali memakan es krimnya.
Setelah es krim
mereka sudah berpindah ke perut masing-masing, dan memastikan mulut mereka
tidak cemong-cemong dengan sisa es krim, mereka berjalan menyusuri pantai Kuta
itu berdua. Bergandengan.
Semua orang
benar-benar terasa asing disana. Mereka akhirnya menyerah. Merasa begitu lelah
mencari orang tua mereka. Tak terasa sinar matahari semakin oranye. Mereka
duduk di bangku yang ada di tengah pantai sambil menatap matahari yang berwarna
sama dengan baju Aira. Berharap ada seseorang yang mengenal mereka dan bisa
membawa mereka kepada orang tuanya.
“Kak, kalau
sampai malam kita ngga ketemu mama gimana?” Aira kembali khawatir.
“Mama sama papa
pasti nyariin kita kok. Kamu kalo capek tidur aja, biar aku yang jaga kamu
disini.” Kata Noy sambil merangkul Aira.
“Nanti Kak Noy
sendirian dong? Aku mau nemenin Kak Noy aja!” Jawab Aira polos.
“Engga kok, kan
banyak orang disini. Hehehe.”
Aira tetap
berusaha membuka matanya. Tapi tak bertahan lima belas menit dia sudah terlelap
di bahu Noy. Noy hanya tertawa dan membenarkan posisi tidur Aira. Semakin larut
tidur Aira, semakin gelap pula langit yang menutupi pantai Kuta saat itu.
“Itu kan..
MAMA!!!” Noy berteriak memanggil seorang wanita yang berjalan dengan suaminya
dengan mata sembab.
Wanita yang
merasa mengenali suara yang memanggilnya itu langsung lega saat melihat buah
hatinya telah ditemukan.
“NOY!!” Ibu itu
langsung menghampiri Noy dan memeluknya.
“Ya Tuhan
sayang, kamu ngga papa? Kamu ngga di apa-apain orang jahat kan? Kamu ngga ada
yang luka kan? Ya ampun Noy, mama khawatir nyariin kamu! Kamu itu ijinnya beli
es krim malah ngilang.” Ibu itu langsung mengeluarkan unek-uneknya yang
tertahan selama beberapa jam tadi.
“Ma, aku ngga
papa. Aku baik-baik aja. Maaf ma, tadi aku beliin Aira es krim. Kasihan dia ma,
mamanya juga hilang!” Jawab Noy sambil menenok Aira di belakangnya.
“Aira? Aira
siapa?” Ibunya bingung.
Ayahnya yang
sudah mengetahui posisi Aira langsung mendekatinya dan membelai wajah anak
kecil itu.
“Ini Aira?”
Tanya Ayah Noy.
Noy hanya
mengangguk lalu memandang mamanya lagi.
“Kamu ketemu
Aira dimana?” Tanya ayahnya.
“Di dekat kedai
es krim tadi. Dia tiba-tiba deketin aku sambil nangis. Karena aku kasihan, ya
udah aku beliin dia es krim.” Jawab Noy polos.
“Kasihan, Ma.
Gimana kalo Aira sama kita aja dulu, besok kita cari orang tuanya Aira?” Usul
ayah Noy pada istrinya.
“Iya, Pa. Kita
bawa Aira dulu aja. Besok kita bantu dia cari orang tuanya.”
Keluarga kecil
itu langsung meninggalkan tempat tadi dan membawa Aira yang masih terlelap ke
penginapan mereka. Aira yang merasa tubuhnya berpindah posisi langsung tersadar
dari bunga tidurnya.
“Loh, Aira
dimana?” Tanya Aira polos saat menyadari dirinya berada di tempat yang berbeda
sebelum dia terlelap tadi.
“Airaa.. kamu
ada di rumah tante aku sekaraang!!” Pekik Noy begitu tahu bahwa Aira sudah
bangun.
Aira masih setengah
sadar. Tapi entah mengapa dalam hati Aira dia merasa tenang dan aman disini. Bersama
keluarga teman barunya. Tidak seperti anak lima tahun pada umumnya yang selalu
menjerit ketika berpisah jauh dengan ibunya.
Keesokan paginya
Noy, Aira, dan sepupu Noy yang bernama Karen sudah basah setengah badan karena
ombak kecil menggelayuti baju mereka. Aira merasa mendapat teman baru yang
sangat asyik untuk membuat istana pasir yang sejak dulu ia inginkan.
Saat asyik
bermain, Aira menemukan sebuah botol kosong berbentuk silindris di dalam pasir
yang sedang ia gali.
“Kak Noy, Kak
Karen, lihaat! Aku dapat botol!!!” Aira begitu semangat dan senang mendapat
barang yang belum pernah ia temui.
Botol itu
kosong. Entah botol apa.
“Wah.. Asyik
dong, Ra? Bisa jadi kenang-kenangan dari Bali!” Kata Karen sambil menghampiri
Aira.
Aira diam
sejenak. Kenang-kenangan? Lalu ia berfikir suatu hal yang kreatif.
“Ra, ayo main
air!!” Pekik Noy dari tepi pantai.
“Sebentar. Kakak
duluan aja!” Jawab Aira.
Aira membuka
tutup botol itu. Lalu sedikit demi sedikit botol kosong itu ia isi dengan pasir
kering dibawahnya. Kini, setengah botol itu telah terisi pasir pantai yang
sangat menarik untuk anak berusia lima tahun. Aira menambahkan kecantikan di
dalamnya. Ia memasukkan sebuah cangkang kerang kecil.
“Nah, sekarang
udah jadi!” Batin Aira.
Aira langsung
berdiri dan berlari menuju kawan-kawannya yang sudah mendahuluinya bermain
pasir.
Saat berlari
dengan semangat, ia tak sengaja menabrak seorang laki-laki dewasa yang
tingginya berlipat-lipat darinya. Aira begitu terkejut saat laki-laki itu
menoleh ke arahnya.
“PAPA!!!” Teriak
Aira begitu tau itu Papanya.
“Ya, Tuhan.
AIRA!!” Papa Aira tak kalah kaget saat tahu itu anaknya yang semalaman hilang.
Papa Aira
langsung menggendongnya dan memeluknya.
“Aira, kamu
kemana aja? Kamu ngga kenapa kenapa kan sayang? Kamu ngga sama orang jahat kan?
Aduh, Papa sama Mama khawatir banget, Ra! Takut kamu diculik atau apa.” Kata
Papa Aira sambil tak lepas memeluk anak sematawayangnya itu.
“Engga kok, Pa.
Aira baik, kok. Kan ada Om Alex sama Tante Dian.” Jawab Aira membuat kening
papanya mengkerut.
“Mereka siapa,
Ra? Mereka ngga jahatin kamu kan?” Tanya papa Aira.
“Engga. Mereka baik
sama Aira. Aira dibeliin baju baru dan diajak main kesini sama mereka. Tadi
malam Aira juga bobok dirumah mereka, Pa!” Jawab Aira semangat.
“Sekarang,
mereka dimana? Papa mau berterimakasih sama mereka.”
Aira pun
mengantar Papanya ke tempat Orang Tua Noy bersantai.
“Tante, Om!”
Panggil Aira kepada mereka saat sudah dekat.
“Loh, Aira. Kok kesini?
Noy sama Karen mana?” Tanya Tante Dian, Mama Noy, yang belum menyadari
keberadaan papa Aira.
“Mereka masih
main. Tante, ini Papa Aira!” Aira meraih tangan Papanya.
“Oh.. Papa Aira,
ya?” Orang Tua Noy langsung berdiri menyambut uluran tangan Papa Aira sebagai
tanda perkenalan.
“Saya sebagai
orang tua Aira mengucapkan banyak terimakasih, sudah mau merawat Aira semalam. Saya
sama mamanya Aira panik cari dia kemana-mana. Pikiran kami sudah ngga karuan
kemarin. Sekali lagi terimakasih ya Pak, Bu.” Ucap Papa Aira begitu
terimakasihnya.
“Iya, sama-sama,
Pak. Kita semalam ketemu Aira sedang main sama anak kita. Kita kasihan sama
Aira yang katanya kepisah sama orang tuanya. Jadi kita bawa dulu Aira dan
niatnya hari ini mau bantu Aira cari orang tuanya. Eh ini malah udah ketemu. Syukur
kalau begitu.” Balas Ibu Noy.
Tak lama
kemudian, Noy dan Karen menyusul mereka. Mereka bingung, menunggu Aira untuk
bermain, tapi Aira justru tidak muncul. Malah ternyata Aira sedang bersama
orang tuanya, dan juga laki-laki asing yang belum pernah ia temui.
“Noy, Karen. Kok
kalian balik? Udah selesai mainnya sayang?” Tanya Ayah Noy.
“Engga, kita
nunggu Aira, tapi Airanya ngga ikut main.” Jawab Karen polos.
“Oiya, Noy, Karen,
kasih salam dulu sama Papanya Aira.” Pinta Ibu Noy kepada mereka.
Noy dan Karen
bersalaman kepada Papa Aira layaknya saling menghormati. Tapi raut wajah Noy
sedikit kecewa saat tahu Aira sudah menemukan keluarganya.
“Jadi Aira
sebentar lagi pulang dong?” Tanya Karen.
“Iya, nanti aku
mau ketemu mama! Aku udah kangen banget sama mama!” Jawab Aira bersemangat.
Noy langsung
berlari meninggalkan kerumunan itu menuju istana pasir mungil yang tadi ia buat
bersama Aira dan Karen.
“Loh, Noy!”
Panggil ibu Noy sedikit khawatir.
“Udah, Ma. Biarin
aja dulu.” Ayah Noy mencegah Istrinya untuk mengejar Noy.
“Ayah, Aira mau
kesana dulu. Ayo, Kak Karen!” Ajak Aira.
“Ngga ah, aku
capek. Nanti dulu, ya. Nanti aku nyusul!” Jawab Karen sambil mengambil minum di
tas-nya.
“Ra, Papa
telepon mama kamu dulu ya, biar ngga khawatir.”
Aira hanya
mengangguk dan berlari menyusul Noy.
“Kak Noy kok
lari?” Aira duduk di sebelah Noy.
Noy menoleh ke
arah kawan kecilnya itu dan menatapnya.
“Nanti kalau
kamu pulang kita ngga bisa main lagi dong? Rumah kita kan jauh. Aku di Bogor
kamu di Jogja!” Tanya Noy dengan cemberut.
“Kan kita bisa
telepon pake HP papa atau mama aku!” Jawab Aira tanpa melepas pandangannya
kepada Noy.
“Janji?” Tanya
Noy.
“Janji!” Jawab
Aira tegas.
Noy pun memeluk
kawan kecilnya itu sambil berjanji akan terus menghubunginya.
“Oiya, aku punya
sesuatu buat Kak Noy!” Aira pun menyodorkan botol berisi pasir yang tadi
dibuatnya.
“Apa ini, Ra?”
Tanya Noy sambil mengambil botol di tangan Aira.
“Itu hadiah buat
Kak Noy karena udah beliin aku es krim dan buatin aku istana pasir!” Jawab
Aira.
Saat Aira
melirik botol itu lagi, kerang kecil yang ada di dalamnya sudah menghilang. Mungkin
tertimbun pasir di dalamnya karena terguncang saat bertemu papanya tadi.
“Terimakasih,
Aira. Tapi aku ngga punya apa-apa untuk kenanganmu.” Noy cemberut lagi.
“Ngga usah!
Kakak udah kasih banyak kejutan buat aku. Pokoknya kakak ngga boleh buang botol
ini dan numpahin pasir di dalamnya sampai nanti kita ketemu lagi. Oke?” Aira
mengacungkan dua jempolnya.
“Oke! Aku janji
bakalan simpan botol ini sampai nanti kita ketemu lagi.” Jawab Noy sambil
mengacungkan jempol tangan kanannya.
Mereka pun
berpelukan lagi. Tapi kali ini berpelukannya bertiga karena Karen sudah datang
dan ikut berpelukan.
Akhirnya mereka
menghabiskan waktu sampai siang untuk bermain bertiga layaknya sahabat yang
sudah bertemu lama sekali. Menikmati sisa waktu bermain mereka karena setelah
ini mereka harus pulang ke rumah masing-masing.
Hingga akhirnya
sore datang. Aira berpamitan kepada Orang tua Noy dan Orang tua Karen. Aira harus
pulang karena waktu berliburnya sudah habis. Tetes air mata mengiringi pelukan
antara Aira, Noy, dan Karen sore itu.
“Tunggu sampai aku datang lagi ya, Kak Noy. Dan
kita akan menumpahkan pasir itu bersama-sama!”